Fatwa

Latar belakang masalah

Ditengah–tengah dinamika ummat Islam yang semakin berkembang, persoalan ummat pun kian kompleks. sehingga di anggap di perlukan rambu-rambu sebagai upaya membentengi ummat Islam dari segala sesuatu yang menimbulkan mafsadat-kerusakan.

Fatwa adalah jawaban atas persoalan yang mengemuka, biasanya merespon hal–hal yang bersifat kontemporer. Belakangan ini perbincangan seputar fatwa juga semakin mengemuka. Namun tidak sedikit yang meragukan akan sebuah fatwa, bahkan terkesan acuh tak acuh dengan yang namanya fatwa. Fatwa yang dulu dianggap ‘barang mahal’ itu, saat ini terkesan tidak mendapatkan tempat dihati ummat. Seakan nilai fatwa mengalami penyusutan nilai. Sehingga banyak individu maupun lembaga yang tidak terlalu pengaruh dengan adanya fatwa.

Hal ini bisa kita lihat dari sederetan fatwa yang dikeluarkan lembaga MUI. dari persoalan golput,rokok,foto pre wedding,tukang ojek wanita dan masih banyak hal lainnya. Seharusnya dengan adanya fatwa dari ulama maka seharusnya diikuti karena bagaimanapun ulama dikatakan sebagai pewaris para nabi. namun kenyataan dilapangan tidak selamanya sama, memang ada sebagaian yang mengikuti atas fatwa yang ada tapi ada juga yang tidak terlalu memperhatikannya.

Fatwa secara syariat bermakna penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah yang ada yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran Sunnah Nabawiyyah dan ijtihad.

Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi manusia dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Atau dapat disimpulkan fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat, dari dalil-dalil syariat-Ijtihad. Pasalnya, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad tidak ada yang lain.

Atau dengan kata lain, penetapan fatwa harus didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad yakni ”fahm al-nash” memahami nash atau teks dan fahm al-waaqi’ al-haaditsah” memahami realitas yang terjadi. Fahm al-nash adalah upaya memahami dalil-dalil syariat hingga diketahui dilalah al-hukm atau penunjukkan hukum yang terkandung di dalam dalil tersebut. Sedangkan fahmu al-waaqi’ al-haaditsah adalah upaya mengkaji dan meneliti realitas yang hendak dihukumi agar substansi persoalannya bisa diketahui, serta hukum syariat yang paling sesuai dengan realitas tersebut.

Realitas bukanlah dalil hukum atau sumber hukum akan tetapi ia adalah obyek yang dihukumi. Oleh karena itu, fatwa tidak digali atau dirujuk dari realitas, akan tetapi diambil dan dirujuk dari dalil-dalil syariat yakni al-Quran Sunnah, Ijma’ atau kesepakatan Ijtihad para Shahabat dan Qiyas

Fatwa pada hakikatnya merupakan produk ijtihad dari individu ulama atau mufti atau institusi keulamaan yang berwenang memberikan fatwa atas suatu permasalahan hukum dan keagamaan.

Untuk itu, mengingat betapa pentingnya kedudukan fatwa sudah seyogya-nyalah umat tidak mengabaikan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama atau dewan mufti seperti MUI. Sebab, fatwa tidak lahir atas pertimbangan satu orang saja atau demi kepentingan segelintir orang. Fatwa lahir karena pertimbangan kemaslahatan umat atau mashalihul ummah. Wallahu alam bissowab.

A. PENGERTIAN FATWA

Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab al-Fatwa, menurut Ibnu Manshur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari kata fata, yaftu, fatwan, yang bermakna muda, baru, penjelasan, penerangan. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat al-Fayumi yang mengartikan sebagai pemuda yang kuat. Sehingga orang yang mengeluarkan fatwa dikatakan sebagai mufti, karena orang tersebut diyakini mempunyai kekuatan dalam memberikan penjelasan dan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapinya sebagai mana kekuatan yang dimiliki oleh seorang pemuda.

Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyri (w. 538 H) fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut as-Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara’ yang tidak mengikat untuk diikuti.[1]

Menurut kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha, pengertian fatwa adalah:

تبين الحكم الشرعي للسائل عنه بلا إلزام

Menjelaskan hukum Syar’i kepada penanya dan tidak mengikat.[2] Menurut Yusuf  Qardawi, fatwa  adalah menerangkan hukum syara’ dalam persoalan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan atau kolektif.[3]

Dari beberapa pengertian di atas ada dua hal penting yang perlu dicatat:

1)            Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa (based on demand).

2)            Dari segi kekuatan hukum, fatwa sebagai jawaban hukum tidaklah bersifat mengikat.

Dengan kata lain, orang yang meminta fatwa, baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi atau hukum yang diberikan kepadanya


B. ISTILAH-ISTILAH DALAM FATWA

Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian fatwa, yakni:

  1. Al-ifta atau al-Futya, artinya kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
  2. Mustafti,artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau meminta fatwa
  3. Mufti, orang yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut atau orang yang memberikan fatwa.
  4. Mustafti fih, masalah, peristiwa, kejadian, kasus, perkara yang ditanyakan status hukumnya
  5. Fatwa, jawaban hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau perkara yang ditanyakan.[4]

C. SYARAT-SYARAT MUFTI

Adapun orang yang pantas dimintai fatwa tidaklah sembarang orang. Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan bahwa di antara syarat seorang mufti adalah:

“menguasai pendapat-pendapat dan kaidah-kaidah dalam ushul fiqh dan fiqh, mempunya kelengkapan untuk melakukan ijtihad, menetahui ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk memformulasikan suatu hukum , misalnya ilmu Nahwu, ilmu bahasa, ilmu Mushthalah al-Hadits, tafsir ayat-ayat dan hadits-hadits hukum”

As-Syaukani menyebutkan tiga syarat yaitu, mampu berijtihad, adil dan terhindar dari kesan memperlonggar dan mempermudah hukum.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa seorang mufti haruslah nyata-nyata seorang wara’, tsiqah, terpercaya, terhindar dari fasiq, tajam pikiran, sehat rohani dan sedapatnya sehat jasmani.

Mengenai apakah seorang mujtahid atau mufti harus dapat menjawab semua pertanyaan, Imam Ghazali menyatakan bahwa ijtihad bukan pekerjaan yang tidak terbagi-bagi. Menurutnya seorang alim dapat dikatakan melakukan ijtihad meskipun ia melakkan ijtihad dalam beberapa ketentuan hukum saja.[5]

 D. ADAB DAN SYARAT-SYARAT DI DALAM MEMINTA FATWA

Tidak hanya seorang mufti saja yang mempunya syarat, akan tetapi terdapat adab dan syarat dalam meminta fatwa (mustafti). Diatara adab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1)             Orang atau pihak yang meminta fatwa harus tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan fatwa sendiri.

2)             Orang atau pihak yang meminta fatwa harus meneliti terlebih dahulu apakah orang atau lembaga yang dimintainya fatwa benar-benar mempunyai kompetensi untuk menetapka fatwa.

3)             Orang atau pihak yang meminta fatwa tidak harus mengetahui bahwa fatwa yang akan dikeluarkan adalah menurut madzhab tertentu.

4)             Orang atau pihak yang meminta fatwa apabila mendapati adanya fatwa yang berbeda dari dua mufti atau lembaga, maka baginya untuk mendahulukan fatwa dari seseorang atau lembaga yang secara luas diakui lebih berkompeten dalam mengeluarkan fatwa. Jika yang memintanya tidak tahu mana yang yang paling berkompeten, maka boleh memilih mana yang lebih “aman”.

5)             Orang atau pihak yang meminta fatwa apabila hanya mendapati satu orang atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam berfatwa dan tidak ada orang atau lembaga lain yang mempunyai kompetensi untuk berfatwa. Maka dirinya terikat dengan fatwa yang dikeluarkan oleh orang atau lembaga tersebut.

6)             Orang atau pihak yang meminta fatwa jika mendapati permasalahan yang sama yang pernah difatwakan, maka apakah ia harus memintakan fatwanya? Ada dua perbedaan diantara para Ulama. Pertama, meminta kembali menanyakan, karena boleh jadi berbeda dengan sebelumnya sesuai dengan kondisi dan zaman. Kedua, tidak perlu, hanya perlu merujuk kepada fatwa yang sudah ada.

7)             Orang atau pihak yang meminta fatwa sebaiknya datang sediri secara langsung kapada Mufti.

8)             Orang atau pihak yang meminta fatwa seyogyanya berprasangka baik dan berprilaku baik kepada mufti.

9)             Orang atau pihak yang meminta fatwa seyogyanya tidak menuntut kepada mufti untuk menyertakan dalil berserta argumentasi.

10)         Orang atau pihak yang meminta fatwa jika tidak menemukan mufti di daerahnya atau dimanapun maka ia tidak terkena taklif.[6]

E. HAL-HAL YANG PERLU DI PERHATIKAN DI DALAM FATWA

Mengingat fatwa begitu penting dikalangan awam dalam menjalankan ibadahnya, maka setiap mufti tidak boleh menolak apabila dimintai fatwa. Dalam hal ini Imam An-Nawawi menyebutkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan hukum fatwa.

Pertama, berfatwa hukumnya fardhu kifayah, jika ada orang atau pihak yang menanyakan suatu masalah maka wajib bagi orang yang mempunya kompetensi berfatwa menjawabnya.

Kedua, jika suatu fatwa itu sudah dikeluarkan akan tetapi oleh karena suatu hal fatwa tersebut dirasa tidak sesuai, maka bagi pihak yang mengeluarkan fatwa harus memberitahukan orang yang meminta fatwa, bahwa fatwa yang telah dikeluarkan terdahulu tidak sesuai.

Ketiga, haram hukumnya bagi mufti untuk terlalu mudah mengeluarkan fatwa, dan jika diketahui seperti itu maka haram bagi mustafi meminta fatwa kepadanya.

Keempat, seorang mufti ketika menetapkan fatwa harus stabil psikis dan fisiknya, sehingga bisa berfikir jernih dan menjaga kenetralannya dalam menetapkan hukum suatu masalah.

Kelima, seorang mufti dilarang menjadikan fatwa sebagai sumber penghasilan untuk kepentingan dirinya.

Keenam, bagi mufti yang dalam menetapkan fatwa tetang hukum suatu masalha kemudian dilain waktu ada pihak lain yang menanyakan masalah yang sama, maka mufti boleh menyamakan dengan yang pertama dengan syarat masih ingat dalil-dalil dan penjelasannya.

Ketujuh, jika mufti yang dalam menetapkan fatwa merujuk kepada pendapat ulama madzhab tertentu, maka harus didasarkan atas pendapat ulama yang terdapat dalam kitab fiqh yang diakui.

Kedelapan, ketetapan fatwa harus jelas dan dapat langsung dilaksanakan oleh peminta fatwa.[7]

F. METODE-METODE FATWA

Kaidah istinbat yang dijadikan pedoman dalam penetapan fatwa:

1)      Metode Bayani

Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks al-Quran dan as-Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kebahasaan. Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup:

a)      Analisa bedasarkan segi makna lafaz

b)      Analisa bedasarkan segi pemakaian makna

c)      Analisa bedasarkan segi terang dan samarnya makna

d)     Analisa bedasarkan segi penunjukan lafaz kepada makna menurut maksud pencipta nash.

2)      Metode Ta’lili

Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat. Istinbat ini ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada kejadian yang sudah ada hukumnya karena adanya kesamaan illat.

3)      Metode Istishlahi

Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash, belum diputuskan dengan ijma’ dan tidak memungkinan dengan qiyas atau istihsan.[8]

Kesimpulan

Dari keterangan di atas penulis menarik kesimpulan bahwasannya usul fiqh adalah sebuah teori penjelasan hukum syari’ah oleh seorang mufti yang sudah memenuhi kreteria di dalam menjelaskan fatwa dan menelaah fenomena-fenomena di masyarakat. Sehingga masyarakat dapat memperoleh jawaban yang benar menurut syariah islam atas masalah-masalah tersebut.

Seorang mufti wajib mempunyai karakter-karakter yang harus di penuhi didalam memberikan fatwa. Supaya hasil dari fatwa yang di kemukakan itu tidak melenceng dari kebenaran yang telah di jelaskan oleh syari’ah.

Di dalam ruang lingkup fatwa ada beberapa hal yang penting yang harus di perhatikan oleh seorang mufti (pemberi fatwa) maupun seorang mustafti (orang yang meminta fatwa) supaya fatwa yang di hasilkan itu bisa bermanfaat di dalam memecahkan suatu problematika.

Demi kesempurnaan fatwa seorang mustafti harus memakai beberapa metode yang harus di terpakan di dalam memecahkan masalah yang di ijtihadi pada waktu itu, seperti metode bayani, ta’lili dan istilahi.

Demikianlah makalah ini kami buat, penulis mengakui di dalam makalah ini masih banyak kekurangan yang harus di benahi, penulis memohon bantuan dari semua pihak untuk membantu dalam bentuk kritik membangun dan saran-saran supaya makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua di dalam proses kita mencari ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990)
  2. Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha (darul fikr) hal
  3. Dr. Yusuf Qardawi, Fiqh Prioritas (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990)
  4. Nasrun Haroen,USHUL FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001)
  5. Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushulul Fiqh,(Bandung:Gema Risalah Press,1997)
  6. Rachmat Syafe’I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2007)
  7. Moh. Abu Zahrah, USHUL FIQIH,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008)

[1] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 98

[2] Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha (darul fikr) hal. 168

[3] Dr. Yusuf Qardawi, Fiqh Prioritas (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 203

[4] Nasrun Haroen,USHUL FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.203.

[5] Nasrun Haroen,USHUL FIQH 1,(Jakarta:Logos Wacana Ilmu,2001),cet.3,hal.206.

[6] Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushulul Fiqh,(Bandung:Gema Risalah Press,1997),cet.2,hal.157.

[7] Rachmat Syafe’I,Ilmu Ushul fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS,(Bandung:CV.Pustaka Setia,2007),cet.3,hal.177

[8] Moh. Abu Zahrah, USHUL FIQIH,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2008),cet.12, hal.332-334.

Tinggalkan komentar